KM 0

KM 0

Rabu, 16 Maret 2011

TEORI PRAGMATISME NON POSITIFISTIK JOHN DEWEY

TEORI PRAGMATISME NON POSITIFISTIK JOHN DEWEY
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu, dosen pengampu Drs. Usman SS.M.Ag



Disusun oleh :
Agustina Barida Wijayanti
08630027

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010

PENDAHULUAN

Penulis berada dalam kesulitan untuk meletakkan telaah pragmatisme. Pragmatisme era pertama jelas temasuk dalam positivisme modern. Pragmatis era kedua pada satu sisi termasuk pada era postpositifistik karena tampilannya yang meta-etik. Sebagaimana diketahui filsafat modern (mencangkup positivisme modern dan postpositifistik) mementingkan rasionalis yang terus direduksi menjadi efisiensi dan lebih lanjut menjadi pragmatik. Pragmatik era kedua pada sisi lain, dekat dengan dekontruksi Derrida, dekat dengan kuantum teori Einsteinia, yang menampilkan kebebasan befikir, berarti cukup rasional untuk dimasukkan kedalam PostModernisme.
Pragmatisme berpegang teguh pada praktik. Berusaha menemukan asal mula serta hakeket terdalan segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya. Sejarah menunjukkan sengketa mengenai masalah ini di bidang filsafat selalu menyebabkan adanya sebagian orang yang menolak sebagai masalah yang tidak mengandung harapan ntuk di pecahkan, seperti halnya menganut neo-positivisme, dan menyebabkan sebagian orang yang lain memandangnya sebagai sesuatu yang tidak berfaidah.

PEMBAHASAN
Pragmatis Menurut John Dewey (1894-1952)
1. Sejarah pendidikan John Dewey
John Dewey lahir di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimoro ia menjadi guru besar dibidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada unuversitas-universitas di Minnesota, Michigan, Chicago (1894-1904), dan akhirnya di Universitas Kolombia (1904-1929).
2. Teori non posititiftik
Non-positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk generalisasi, yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk menghasilkan teori dan bukan mencari pembenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah pemahaman terhadap teori yang dihasilkan. Untuk ini dalam non positivisme terdapat tiga hal penyikapan, yaitu:
• Memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dengan dunia nyata
• Actor manusia pelaku ekonomi maupun dunia ekonomi senyatanya perlu dipandang sebagai proses dinamis dan bukan sebagai sturktur yang statis
• Arti penting yang terkait dengan kemampuan actor pelaku ekonomi untuk menafsirkan kehidupan sosialnya.

3. Istilah Pragmatisme
Secara umum pragmatisme berarti hanya ide (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat di praktikkan dengan benar dan berguna.
4. Teori pragmatis John Dewey
Ia adalah seorang pragmatis, tetepi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi pembuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu decara aktif-kritis.
Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap. Tiap-tiap organisme dalam keadaan perjuangan yang berlangsung terus menerus terhadap alam sekitar dan memperkembangkan alat (instrumen) yang memberikan bantuan dalam perjuangan tersebut. Pikiran ini berkembang sebagai alat untuk mengadakan eksperimen terhadap alam sekitar ketika organisme yang bernama manusia berusaha untuk menguasai dan memberi bentuk pada alam sekitar itu unuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu kecerdasan adalah suatu yang bersifat kreatif dan pengalaman merupakan unsur terpokok dalam segala pengetahuan.
Bagi john dewey, yang penting bukan benar tidaknya pengetahuan melainkan sejauh mana kita bisa memecahkan masalah-masalah yang mencul di dalam masyarakat manusia dan dalam kenyataan hidup. Selanjutnya ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran adalah kegunaan untuk umum. Daya pikir dan daya tahu merupakan darana. Bukan konsep-konsep sendiri yang benar, tetapi ide-ide yang beru menjadi benar dalam rangka proses penggunaan oleh manusia. Pengetahuan itu bersifat dinamis,karena harus sesuai dengan peristiwa-peristiwa silih berganti dan yang memantulkan hakekat dunia ini.
Dengan kata lain filsafat eksperimenmentalis atau instrumentalis John Dewey menekankan pada pentingnya pengalaman itu secara aktif-kritis. Sehingga dengan demikian filsafat akan bisa menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai. Instrumentalisme adalah suatu usaha penyusunan suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpanan-penyimpanan dalam bentuka yang bermacam-macam, dengan cara : pertama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pada pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Dalam hal ini maka yang benar adalah apa yang pada akhirnya disetujui oleh setiap orang yang menyelidikinya. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali di tentukan tidak boleh di ganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Kadar kebenaran akan tampak dari pengujiannya oleh pengalamn-pengalamn di dalam praktik. Satu-satunya cara yang dapat di percaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui arti yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini bukan hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan sosial dan moral.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa setiap orang yang hidup dalam dunia yang belum sesuai penciptaannya. Dari konsepnya ini maka dapat ditemukan tiga aspek instrumentalisme, yaitu : Temporalisme (ada gerak dan kemajuan riil rebetas dalam waktu), Futurisme (dorongan melihat masa depan) dan Meliorisme (dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga manusia).
Atas dasar itu maka dapat dijelaskan bahwa suatu pemikiran dikatakan benar apabila pandangannya berkandaskan pada sikap kreatif, dinamis, pluralis, dan progresif,. Misal, bila dikatakan dengan perihal kehidupan beragama maka seseorang di dalam sikap hidupnya harus selali menunjukkan upaya untuk tetus menyempurnakn peribadatannya.
Sikap finatik buta adalah segalanya dipandang final, bersikap benar sendiri, mementingkan rutinitas dan universitas, sudah pasti tidak menjadi perangai dirinya. Sebalikkan sikap terbuka, setiap dikritisi dan mengkritisi, jujur, dan objektif menjadi potret dirinya. Umpamanya, jika hari ini belum bisa membaca al quran, maka besok berusaha untuk mampu membaca, dan demikian seterusnya. Letak kemanfaatan dari John Dewey adalah bahwa nilai kemanfaatan pada hakekat sudah tersirat di dalam setiap dan perilkunya yang dilandaskan pada filosofi yang dimadsud.
Cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia tidak meruasa puas sehingga mereka menggunakan cara berpikir deduktif atau induktif. Kemudian orang mulai memadukan cara berpikir deduktif dan induktif, dimana perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif atau lewat eksperimentasi akan menjadi kebenaran jika telah di uji denagan adanya korespondensi fakta dengan ide yang telah di uji dalam praktik. Metode ini antara lain:
1. The Felt Need (adanya suatu kebutuhan)
Seseorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaanya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.

2. The Problem (menetapkan masalah)
Dari kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need diatas, diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan (kebutuhan). Penemuan terhadap kebutuhan dan masalah boleh dikatakan parameter yang sangat penting dan menentukan kualitas penelitian. Studi literatur, diskusi, dan pembimbingan dilakukan sebenarnya untuk men-define kebutuhan dan masalah yang akan diteliti.

3. The Hypothesis (menyusun hipotesis)
Jawaban atau pemecahan masalah sementara yang masih merupakan dugaan yang dihasilkan misalnya dari pengalaman, teori dan hukum yang ada.

4. Collection of Data as Avidance (merekam data untuk pembuktian)
Membuktikan hipotesis dengan eksperimen, pengujian dan merekam data di lapangan. Data-data dihubungkan satu dengan yang lain untuk ditemukan kaitannya. Proses ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis.

5. Concluding Belief (kesimpulan yang diyakini kebenarannya)
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada tahap ke-4, dibuatlah sebuah kesmpulan yang diyakini mengandung kebenaran, khususnya untuk kasus yang diuji.

6. General Value of the Conclusion (memformulasikan kesimpulan umum)
Kesimpulan yang dihasilkan tidak hanya berlaku untuk kasus tertentu, tetapi merupakan kesimpulan (bisa berupa teori, konsep dan metode) yang bisa berlaku secara umum, untuk kasus lain yang memiliki kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Ruswanto skk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Fogja akademik UIN
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka cipta
Hadiwijoyo, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta : Kanisius
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara wacana jogja
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme dan PostModernisme. Yogyakarta : Rakesarasin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar