KM 0

KM 0

Selasa, 21 Juni 2011

RELASI ANTARA SAINS DAN AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil aplikasi sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama.
Keberlangsungan hidup manusia tidak terlepas dari ilmu. Di sisi lain,juga diperlukan agama untuk mengisi sisi spiritual, memberikan ketenangan, serta tuntunan bagi manusia dalam berhubungan dengan Allah yang Maha Pencipta dan dalam berhubungan dengan manusia lainnya.Segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh umat manusia adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan upaya menjauhi ketidakenakan. Upaya pemenuhan kebutuhan dan ketidakenakan tersebut dicapai melalui ilmu dan pengetahuan yang terus berkembang.
Sepanjang sejarah manusia, pembicaraan mengenai sains dan agama tidak pernah berhenti. Agama dan sains merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Sains dan agama merupakan dua entitas yang sama-sama telah mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Keduanya telah berperan penting dalam membangun peradaban. Dengan lahirnya agama tidak saja telah menjadikan umat manusia memiliki iman, namun juga terbangunnya manusia yang beretika, bermoral ,dan beradab yang menjadi pandangan hidup bagi manusia dalam menjalani hidup . Sedangkan sains dengan perkembangannya telah menjadikan kemajuan dunia dengan berbagai penemuan gemilang. Dari asal-muasalnya memang terdapat perbedaan antara agama dan sains. Agama berasal dari wahyu yang diturunkan Tuhan melalui nabi dan rasul, sementara sains (ilmu) merupakan proses perenungan atau olah pikir dan aktivitas berpikir otak manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama dan Sains

 Ketika mendengar kata sains dan agama, serta merta orang akan berpikir akan sejarah hubungan di antara keduanya. Dalam catatan sejarah perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangan belaka, tetapi juga orang berusaha untuk mencari hubungannya antara keduanya pada posisi yaitu sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Sebelum menggali lebih jauh hubungan antara keduanya, terlebih dahulu dipahami konsep dan pengertian dari agama dan sains itu sendiri.  
A.    1. Pengertian Agama
Agama dari sudut bahasa etimologis berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran-ajaran, kumpulan-kumpulan hukum yang turun temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan. Secara istilah terminologi perkataan agama mengandung muatan subjektivitas dan tergantung orang yang mengartikannya. Menurut Mukti ali mengatakan, tidak ada kata yang paling sulit untuk mendevinisikan selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama bahwa pengalaman agama adalah soal batiniah, subjektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, ada yang bersemangat dan emosional dalam membicarakan agama, karena itu setiap pembahasan tentang agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit didevinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan devinisi tersebut.[1]
Menurut Einstein (1930), agama ada, berkaitan dengan sikap manusia terhadap alam semesta, dengan menanamkan cita-cita dalam kehidupan individu dan masyarakat, serta hubungan timbal balik antar manusia. Agama berkaitan dengan tujuan dan evaluasi, umumnya dengan dasar emosional pemikiran dan tindakan manusia. Pemikiran dan tindakan tersebut tidak ditentukan lebih dulu oleh perintah manusia, melainkan turun temurun yang  tidak dapat diubah.
A.2. Pengertian Sains
Sains adalah pengetahuan mengenai fenomena-fenomena spasiotemporal atau alam semesta pada umumnya, seperti kimia, fisika, dan astronomi. Sains merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang gigih mencari makna. Sains berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan tersebut , sains menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis, dan atau pemikiran rasional untuk mengamati alam dan  individual dalam suatu masyarakat.[2]
Menurut Eisnstein , sains merupakan pemikiran metodik yang diarahkan untuk menemukan hubungan regulatif antara pengalaman pengalaman sensual manusia. Dalam waktu relatif cepat, sains menghasilkan pengetahuan dan secara tidak langsung merupakan alat bertindak menuju ke tindakan yang metodikal apabila tujuan-tujuan tertentu telah ditetapkan sebelumnya. Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu aliran yang sangat mengutamakan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi asumsi metafisis, aksiologis, dan epistomologis (Rakhmat , 2003). Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran.
B.     Hubungan Agama Dan Sains
Sains dan agama bukan merupakan isu baru dan bahkan banyak pemikir yang yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Pertarungan antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti. Katakan saja, di satu pihak ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap sebagai intelektual. Tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai kelompok tradisional, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua hal tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah-olah tak pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.[3]
Menurut Hardiman (2007), secara garis besar ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama. Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dan sains dibawa ke arena yang sama dalam pencarian makna. Ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas (agama) dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Sementara itu dalam perjalanan sejarah sains sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang obyektif, karena dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya oleh banyak orang. Karakternya yang sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama. Seperti yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat menganggap bahwa agama lahir dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan sains dianggap pasti berdasarkan akal, sebab fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diakui kebenarannya.
Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.

1.Konflik

Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Sebagai contoh kita ambil konflik dari pengadilan terhadap Galileo pada tahun 1633. Galileo mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet – planet berputar pada orbitnya mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus bahwa matahari dan planet – planet berputar mengelilingi bumi (geosentris). Teori heliosentris ini bertentangan dengan otoritas kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Hal ini berarti teori Copernicus ini bertentangan terhadap gereja. Galileo juga mengatakan bahwa kita harus menerima tafsiran harfiah atas alkitab kecuali jika ada teori sains yang terbukti secara tak terbantahkan. pandangan ini membuat Galileo harus menerima hukuman dari gereja. Kasus kedua adalah perdebatan seputar teori evolusi Darwin. Yang memandang nenek moyang manusia berasal dari kera yang kemudian berevolusi menjadi manusia. Menurut saya hal ini tidak benar karena hal ini bertentangan dengan Al Quran yang menyatakan bahwa manusia pertama yng diciptakan oleh Alloh SWT adalah Nabi Adam bukan kera sebagaimana anggapan Darwin. Kalau kita menganggap nenek moyang manusia adalah kera berarti kita merendahkan derajat manusia. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia adalah mahkluk yang berakal, ini berbeda dengan kera yang tidak memiliki akal karena dia hewan. Para penafsir harfiah kitab suci percaya bahwa teori evolusi bertentangan dengan keyakinan agama. Ilmuan atheis mengklaim bahwa bukti – bukti ilmiah atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama.[4]

2.Independensi

Independensi adalah sebuah pandangan alternatif yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua domain yang independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan jarak aman satu sama lain. Metoda ini merupakan metoda untuk menghindari konflik antara sains dan agama. Menurut pandangan ini semestinya tidak perlu ada konflik karena sains dan agama berada pada domain yang berbeda. Disamping itu pernyataan sains dan pernyataan agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan masing – masing melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda. Sains menelusuri cara kerja benda – benda dan berurusan dengan fakta objektif, sedangkan agama berusuan dengan nilai dan makna yang tertinggi Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.[5]
Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren. Bila manusia menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam hal itu dalam pandangan yang lebih dialektis dan komplementer.

3.Dialog

Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman

4. Integrasi

Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.

Dari empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour, lebih berpihak pada dua pandangan terakhir, dan khususnya integration. Lebih khusus lagi, integrasi Barbour, adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada ada yang disampaikan oleh isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.[6]

Armahedi Mahzar mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini.[7]


Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught , yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi.[8]
Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut :

1.      KONFLIK

Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan.[9] Kaum “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”.[10]
2.      KONTRAS

Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan (teolog) tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains30. Menurut kubu kontras, agama dan sains sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah (valid) meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.[11]


3.      KONTAK

Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya penyesuaian antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan relegius dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan kebenaran Tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama, tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara langsung kepada desainer Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang nyata .[12]



4.      KONFIRMASI
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa, pendekatan konfirmasi adalah memperkuat atau mendukung. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.[13]

BAB III
PENUTUP

Dalam integrasi agama dan sains, perlu diupayakan dengan dialog, interaksi dan konfirmasi. Artinya, sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan begitu juga agama tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Agama harus membantu sains dengan memberikan perspektif yang berbeda. Sains harus membantu agama untuk melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris. Kita tidak perlu menganjurkan sains untuk berubah-ubah pandangan. Di lain pihak, kita perlu mengingatkan agama (agamawan) untuk bersedia berubah sesuai dengan perkembangnya pengetahuan.
Untuk mencapai itu semua, baik sains maupun agama harus memiliki dua wajah, yaitu : intelektual dan sosial. Agama dapat didekati dengan rasional dan empiris dan tidak berhubungan dengan  spritualisme semata. Sains pun sebaliknya dapat berwajah sosial, artinya tidak selalu berurusan dengan rasional dan empiris semata. Sains mungkin telah berhasil melayani kemanusiaan, tetapi sains juga menimbulkan hal-hal negatif bagi manusia yang justru mengingkari kemanusiaan. Di sisi lain, agama semakin hari semakin tereduksi oleh sikap para pemeluknya. Agama terus dilembagakan. Diakui atau tidak, banyak kasus yang dilakukan para pelaku komunitas keagamaan justru menyelewengkan toleransi yang dianjurkan oleh agama yang dipeluknya.

Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan ”dikotomik” antara agama dan sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistik, serta jauh dari sistem oposisi biner yang diagungkan para penganut positivistik. Katakan saja, pandangan agama yang dulu sering tidak menerima penemuan-penemuan sains, karena dianggap bertentangan dengan pemahaman wahyu, kini harus bersikap lebih inklusif dan bijak. Sains yang sering dianggap bebas nilai sehingga melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama juga harus membuat ruang yang lebih lebar bagi saran-saran kaum agamawan. Untuk itu, dengan mempelajari dan memahami persoalan ini secara komprehensif, kita dapat mengetahui keselarasan dalam relasi antara agama dan sains.

DAFTAR PUSTAKA

Bagis, Zainal Abidin. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi.Bandung: Mizan.
Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad. 2002.  Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. Bandung : Mizan.
 Haught, John F. 1995. Sccience and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog. Bandung: Mizan.

Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2005/0105/14/ renungan_jumat.htm, akses, minggu8/5/2006,
 jam.10.00 WIB

Agustina Kurniasih, hubungan sains dan agama, from: http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/HUBUNGAN-SAINS-DAN-AGAMA.pdf), diakses tanggal 07 mei 2011 jam 11.00 WIB
http://www.scribd.com/doc/27718166/RESENSI-Buku-Juru-Bicara-Tuhan), diakses tanggal 07 mei 2011 jam 10.00 WIB

HASIL DISKUSI

Pertanyaan 1
Bagaimanakah hubungan antara agama dan sains, apakah kedua saling bertentangan atau tidak?
Jawab :
Sebenarnya antara agama dan sains tidak saling bertentangan, melainkan saling mendukung satu sama lain atau saling melengkapi. Ada bagian antara agama dan sains yang dapat dipertemukan namun ada pula yang tidak bisa dikaitkan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam agama disebutkan bahwa suatu saat bumi ini akan hancur (kiamat),hal ini dapat diperkuat oleh sains yang menyebutkan bahwa suatu saat reaksi fusi dan fisi unsur radioaktif yang terjadi di matahari akan berhenti bereaksi yang menyebabkan matahari tidak akan bersinar lagi, dan bumi akan hancur. Namun ada juga hal yang tidak bisa dikaitkan antara keduanya dalam agama disebutkan akan ada kehidupan setelah kehidupan di bumi ini, seperti kehidupan di akherat, namun sains tidak bias menjangkau ini, karna sains dalam membuktikan fenomena atau kejadian atau fakta yang terjadi di alam harus diuji kebenarannya secara eksperimen dengan bantuan hipotesis-hipotesis.
Untuk menghubungkan atau mengintegrasi antara agama dan sains dapat diupayakan dengan cara dialog, interaksi dan konfirmasi. Artinya, sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan begitu juga agama tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Agama harus membantu sains dengan memberikan perspektif yang berbeda. Sains harus membantu agama untuk melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris. Kita tidak perlu menganjurkan sains untuk berubah-ubah pandangan. Di lain pihak, kita perlu mengingatkan agama (agamawan) untuk bersedia berubah sesuai dengan perkembangnya pengetahuan. Sehingga keduanya dapat berjalan secara relevan dan berdampingan.
Pertanyaan 2:
Lebih duluan mana agama atau sains,dan bagaimana hubungan antara keduanya ?
Jawab:
Hubungan antara agama dan sains ini  dimulai sejak jaman Galileo yang menyebutkan tentang teori heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), teori ini menimbulkan pertentangan dari pihak inkuisitor gereja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang menyebutkan bertentangan dengan otoritas kitab suci, dimana  pada waktu itu gereja menganut teori Aristoteles yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat tata surya. Dari pertanyaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama sudah ada sebelum sains lahir. Dan dari pernyataan di atas terlihat adanya pertentangan atau benturan antara sains dan agama, dengan  hal ini dapat dianggap bahwa keduanya sudah memiliki hubungan satu sama lain.
Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Sebenarnya pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi bila kita dapat mempertemukan ide-ide spiritualitas (agama) dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Pertanyaan 3
Dalam memahami hubungan agama dan sains, terdapat tiga posisi, Jelaskan !
Jawaban:
Dalam memahami agama dan sains terdapat tiga posisi, yaitu:
1.      Pertama, sains dan agama memiliki teriturium yang berbeda dalam pencarian makna, artinya bahwa dalam memisahkan antara agama dan sains dalam wilayah yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang berbeda, berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi masing-masing tanpa saling mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai sedangkan sains berhubungan dengan fakta. Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk dan metode yang digunakan. Agama atau Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat diperoleh kecuali melalui penyingkapan diri, sedangkan sains dapat dikenali dengan fenomena dan empiris. Sains mencari makna berdasarkan pengamatan, sedangkan agama berdasarkan wahyu dari Tuhan.
2.       Kedua, agama dan sains dibawa ke arena yang sama dalam pencarian makna, bahwa agama dan sains sama-sama memberikan klaim dalam daerah yang sama, agama dan sains dipandang sebagai dua bidang yang saling bertentangan sehingga orang harus memilih salah satu, menolak agama dan menerima sains, atau sebaliknya. Agama dan sains dalam dua ekstrem yang saling bertentangan dan saling menegasikan kebenaran lawannya.  
3.      Ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda, bahwa antara sains dan agama memiliki cara pandang sendiri dalam menghadapi realitas atau fakta yang ada. Sains dalam melihat fakta perlu diuji kebenarannya, dimana pengujiannya menggunakan suatu metode eksperimen dan berbagai hipotesis dan menyakini bahwa metode ilmiah merupakan cara yang paling sahih dalam mendapatkan suatu kebenaran, sehingga kebenarannya tidak diragukan. Sedangkan agama dalam melihat suatu realitas berpegang pada kitab suci, karena mereka beranggapan bahwa satu-satunya sumber kebenaran adalah kitab suci, karena dianggap sekumpulan wahyu yang bersifat benar dan kekal karena bersumber dari Tuhan, sehingga tidak memungkinkan dari yang lain termasuk alam semesta.
Pertanyaan 4
Jelaskan bahwa sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna? nah yang d natsud dengan teritoriun itu apa?
Jawaban:
Teritoriun itu mempunyai penjelasan sendiri-sendiri untuk menjelaskan maknanya. Sains adalah pengetahuan mengenai fenomena-fenomena spasiotemporal atau alam semesta pada umumnya, seperti kimia, fisika, dan astronomi. Sains berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Sedangkan untuk agama adalah soal batiniah, subjektif dan sangat individualis sifatnya.


[1] yatimin abdullah, 2004,  Studi Islam Kontemporer,cet. 1, Jakarta: amzah. Hlm 2-3.

[2] Augustina Kurniasih. Hubungan Sains dan Agama, from

[3] Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2005/0105/14/ renungan_jumat.htm, akses tgl 08 mei 2011 jam 11.00 WIB
[4]  Ian G. Barbour. 2002. When Sciense Meets Religi, terjemahan perjumpaan sains dan agama. Bandung : Mizan, hal. 24.
[5] http://www.scribd.com/doc/27718166/RESENSI-Buku-Juru-Bicara-Tuhan. diakses tanggal 07 Mei 2011, jam 11.00 WIB.

[6]  Ian G. Barbour. 2002. When Sciense Meets Religi, terjemahan perjumpaan sains dan agama. Bandung : Mizan, hal. 20.
[7]   Ian G. Barbour. 2002. When Sciense Meets Religi, terjemahan perjumpaan sains dan agama. Bandung : Mizan, hal : 42.

[8] John F.Haught, 1995, Sccience and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.1.

[9] Ibid, hal 1.

[10] Bagis, Zainal Abidin, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung : Mizan, hlm 18.
[11] Ian G. Barbour. 2002. When Sciense Meets Religi, terjemahan perjumpaan sains dan agama. Bandung : Mizan, hal : 8.

[12]  Ibid, hal : 18
[13] John F.Haught, 1995, Sccience and Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika, terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.2

1 komentar:

  1. haha.. izin kopas untuk buat tugas ya, mendadak soalnya..maklum sistem sks (s. kebut semalaman)

    BalasHapus